Blog ieu sekadar carita tentang sim kuring, buku2 nu di baca ku sim kuring, puisi nu kuring karang, sagala paristiwa nu kaalaman.. pokokna mah, simkuring.com!! hahahahahaha ................. *This blog consists of everything I've done. Books were read, what I feel, what I imagined. It tells all about me. Just all about me!! x)))

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Bodoh!!! 'til the end 6

Tak pernah ku mengerti, mengapa kau sepertinya tak mengindahkan kejadian itu. Ataukah kau memang tak mau perduli?sudah tak perduli lagi pada kenangan kita yang telah meng-arang. Tentu saja, kini kau telah punya dia dan si buah hati. Apalah arti kenangan dengan kekasih gelap sepertiku?bagimu pun itu semua kini sampah!. Dan aku disini, adalah si pemulung sampah, mencoba mngumpulkan puing-puing yang tersisa, mengelukkannya seperti intan permata. Sekali lagi cinta, membuatku bodoh!!!.
Dalam gelap aku menggapai, setiap informasi ku kumpulkan, tapi tak berarti. Janji penegak hukum pun “Secepatnya akan kami ungkap kasus ini” layaknya angin lalu. Mungkin karena dikatakan di dalam TV, maka tak pernah jadi realita. Bukannya kebanyakan yang di dalam Tv itu bohong belaka? Sinetron, boongan. Entah dalam ceritanya bersumpahlah, menangis lah, bahkan mencinta pun, semuanya bohongan!

Pun aku tak bisa mengerti, semenjak aku mengantarkan dia berbelanja. Kini dia lebih sering membuatku “berkunjung” ke sumber dimana segala kesakitanku tercipta, rumahmu dan rumahnya, rumah tangga kalian. Mungkin bila dadaku di rontgen, sang dokter akan terpekik melihat hati ku yang gosong. Terbakar api cemburu.
“Besok datang lagi ya..” Tersentak aku mendengar kalimat itu keluar dari bibirmu yang hitam, bekas rokok. Dalam hati “nggak salah tuh?”. Sekali lagi dan untuk kesekian kalinya, seakan kau bisa melihat tembus apa yang ada di otak ku, tanpa ku bertanya kau menjawab
“Ia serius. Dengan kehadiranmu setiap hari disini, serasa aku hidup bersama denganmu”
“ “SERASA HIDUP DENGANKU??” Mungkin bagimu, ketika kau membelainya dan melihat ku berada di depanmu, yang kau RASA adalah sedang membelaiku. Tapi NYATA bagiku, kau membelainya, bukan aku. Dan yang kulihat adalah fakta, realita, bukan ‘perasaan’. Sungguh pun aku tak mengerti, bagaimana bisa kau menikmati tiap tetes darah yang mengucur dari luka yang kau torehkan di hatiku. Apakah cinta benar-benar sudah membuatmu BODOH?!!”
Meluap semua, tumpah ruah, segala asa dalam hati. Layaknya gunung merapi yang meletus, api merah, marah, bercampur debu hitam, duka. Dan kemudian rintik hujan, tangis.
Segera kubantingkan pintu mobil, berputar dan pergi dari rumahmu. Tanpa kusadari, kaca spionku memantulkan sesosok manusia agak jauh disana, sedang tersenyum.

Kembali lagi, ku lajukan ferrariku, hanya kusisakan 20km/jam saja. Dan kembali lagi, hatiku menggantikan tugas otak, menguasai alam bawah sadar untuk menggerakan tangan dan kaki ku melaju ke tempat itu, ya…tempat kenangan dulu yang tidak seperti dulu..bukit ilalang itu, tidak seperti rambut manusia, yang berubah dari hitam menjadi putih, tapi sebaliknya, dari putih menjadi hitam, arang, sebagian mengabu.
Sesampainya disana, kulihat gubuk tua tempat tinggal sepasang suami istri yang sudah tua, masih berdiri kokoh, walau sedikit reyot. Ah ngiri aku dibuatnya, andai bisa seperti mereka, tak perlu lah rumah mewah, cukup asal bersamamu, walau hidup tak makan cinta, biarlah cinta yang mencukupi segala rasa syukur. Tertarik hati aku mengunjungi mereka.
“Punteun (permisi)” sapaku.
“Mangga (silahkan)” terdengar suara serak dari dalam rumah. Suara yang menyeruakan keperihan hidup, tapi tidak dengan wajah keduanya, senyum bahagia, srasa ringanlah hidup mereka berdua.
“Eh neng, mangga kaleubeut (silahkan masuk)” pinta sang nenek
“Hatur nuhun mak, teu keudah ngarerepot, bade di luar bae, sabari ningali bulan ( Terima kasih nek, nggak usah ngrepotin, mau di luar aja sambil lihat bulan)” timpalku.
Dan kita, aku, sang nenek dan sang kakek, duduk di serambi depan rumah, menikmati indahnya cahaya bulan purnama, ditemani secangkir teh tubruk. Hangat dan tentram, sepertinya poseidon berbaik hati, mau menentramkan gejolak lautan di dalam dada.
Kami mengobrol ringan, kesana kemari, tentu saja dengan bahasa Sunda, walau sedikit banyak aku sudah lupa bahasa Sunda seperti apa, setidaknya karena itu kami bisa tertawa karena ke-kakuk-an bahasaku. Hahahah….. aku, orang bodoh yang menertawai kebodohannya sendiri. Sepakatlah kita, menggunakan bahasa Indonesia.
“Neng, kalau boleh nenek Tanya, tapi ini mah kalau boleh”
“Tanya apa nek?” tanyaku penuh selidik. Tergurat cemas, takut, penasaran di mimic muka nenek.
“sudahlah bu, nggak usah ikut campur” sang kakek, sepertinya tidak setuju dengan apa yang akan nenek tanyakan. Makin aku penasaran karenanya.
“Hok atuh, mau tanya apa?nggak usah sungkan gitu” kini aku yang memaksa.
“ini mah, bukan maksud nyingung atau ikut campur atau gimana ya neng, ini juga kalau neng mau jawab, tidak juga ya tidak apa-apa” nenek menambahkan.
“memang mau tanya apa?”
Diam sejenak, kemudian nenek mengeluarkan unek dalam hatinya
“Kalau boleh tahu, kalau boleh ini mah, kenapa neng membakar bukit ini?”
Hhaaaaaaaahhhhhhhhhhh……..tersentak aku dibuatnya, serasa untuk sepersekian detik, jantung ku tidak berdetak.
“Saya nak?” aku takut salah dengar.
Melihat ekspresi mukaku, sang nenek dan kakek berpandangan, bingung.
“lha bukannya memang neng ya?”
Aku serasa jadi terdakwa “Kenapa bisa kakek dan nenek berpikir seperti itu?”
“kami tidak berpikir seperti itu, tidak pula bermaksud menuduh, tapi itulah kenyataan yang kami lihat” kini kakek angkat bicara.
“bagaimana bisa saya meluluh-lantahkan tempat yang teramat berharga bagi saya?”
“Kami juga tak habis pikir, tempat itu layaknya pusaka bagi neng, bermula dari kenangan waktu neng kecil, hingga sebesar ini. Oleh karena itu nenek beranikan diri bertanya langsung kepada neng”
“Tunggu dulu, bukannya nenek dan kakek pernah berkata di TV kalau pas kejadian itu, kalian sedang tidur siang?ya kan?”
Kini mereka yang terdiam.
“Sebenarnya, kami berbohong” kata kakek.
“Apah? Bohong? Kenapa?”
“Karena kami mencoba melindungi neng, kami takut neng dipenjara”
“Tapi kek, saya tidak melakukannya” tampak keraguan di muka mereka.
“Sungguh!” tegasku “Sekarang gini aja, coba ceritakan cerita sesungguhnya kepada saya”
“Terakhir kali, kami melihat neng menuju puncak bukit itu, disusul oleh seorang laki-laki. Lalu kemudian kalian berdua sama-sama turun dan berpisah di samping rumah ini” tutur kakek.
“Iya betul, terus?” sergahku penasaran.
“Entah kapan neng balik lagi kesini, karena kami tak mendengar suara mobil sebelumnya. Atau mungkin kami tidak menyadarinya karena kami waktu itu berada di dapur. Tahu-tahu kami lihat neng sudah ada di atas bukit, menebarkan isi botol minuman, kemudian neng pergi, bebeapa menit setelah kepergiaan neng, api berkobar”
Akal ku tak bisa mencerna apa yang baru saja aku dengar. Cerita apa ini? bagaimana mungkin terjadi. Tapi tidak mungkin pula kedua orang ini berbohong. Untuk apa?. Cerita ini benarkah adanya? Mungkin secara tak sadar aku melakukannya, Hati yang menguasai seluruh jaringan tubuh, memang terkadang bertindak semaunya, tak memikirkan logika. Adakah aku berkepribadian ganda? Semakin lama aku pikirkan, makin banyak pula pertanyaan yang menggelayut.
“Kami pontang-panting, tak tahu harus berbuat apa, berteriak pun sia-sia. Sampai akhirnya, laki-laki itu, datang kembali, dia segera menghubungi pemadam kebakaran..”
“Tunggu dulu, maksud kakek ‘laki-laki itu’..laki-laki yang menyusul saya waktu itu?”
“Iya betul, dia datang beberapa menit setelah kebakaran terjadi. Setelah menghubungi pemadam kebakaran, dia langsung menanyakan pada kami apa penyebabnya. Sama seperti kami, dia pun tak menyangka neng melakukan hal itu, atas saran dia jua lah, kami tak menceritakan yang sesungguhnya kepada polisi.”
“Lalu kapan dia pergi?”
“Segera setelah mendengar cerita kami, dia langsung pergi”
Terhenyak aku, apakah ini sebabnya, kau tak penuhi panggilanku, marah. Tapi mengapa kau percaya begitu saja?tak mungkin, aku yakin kau pun tak kan percaya sama hal nya seperti aku. Seketika asumsi itu terkelibat, “Kakek, nenek, mengapa kalian yakin kalau akulah yang membakar bukit itu?”
“Maksud neng, kami salah lihat gitu?neng ragu dengan penglihatan kami? Walau kami sudah bau tanah begini, tapi mata kami masih awas” sang nenek sepertinya agak tersinggung dengan perkataanku tadi.
“Bukan, bukan maksud saya menyinggung kakek ataupun nenek, saya ingin tahu lebih detail”
“Memang kami melihatnya di kejauhan, tapi neng sempat mendekati rumah ini, lalu ketika kita berpandangan, neng segara pergi begitu saja ” Kakek menerangkan
“Ketika “saya” mendekati rumah ini, apakah api sudah berkobar?”
“Sepertinya begitu, karena pada awalnya, kami kira neng sedang membuat api ungun di atas sana”
“Adakah sesuatu yang agak beda, mungkin mobilnya, warna baju, atau apa?”
“waduh, kalau itu kami sudah lupa, mobilpun kami tak lihat, karena waktu itu kami berada di dapur, di belakang rumah, sedang biasanya mobil di parkir di samping rumah”
“Tunggu dulu, Pak! Sepertinya waktu itu kita tidak mendengar suara mobil?” Selah nenek.
“Ia Bu, mungkin waktu kedatangan kedua kalinya si neng ini, kita sedang ribut di dapur, jadi tidak terdengar”
“Bukan Pak! Maksud ibu, kita juga tidak mendengar suara mobil ketika si neng itu pulang”
“Oia, ya Bu, bapak baru ngeuh”
“Kek, selain jalan ini, menuju bukit bisa lewat mana lagi?”
“bisa lewat perkampungan sebelah, ntar munculnya di belakang bukit”
“Terima kasih kek, nek. Saya pamit dulu”

Adrenalin ku bergejolak. Inikah? Inikah jawab atas semua tanyaku? Kususuri jalan yang ditunjukkan sang kakek, mengitari bukit masuk ke hutan yang tak terlalu lebat dan cukup lapang untuk mobil lewat. Adakah ini yang selama aku cari? Ku ambil handphone, ingin rasanya ku tumpahruahkan segala apa yang ada dalam benakku, asumsi-asumsiku.
“Halo” suaramu diseberang.

Leave a Reply