Blog ieu sekadar carita tentang sim kuring, buku2 nu di baca ku sim kuring, puisi nu kuring karang, sagala paristiwa nu kaalaman.. pokokna mah, simkuring.com!! hahahahahaha ................. *This blog consists of everything I've done. Books were read, what I feel, what I imagined. It tells all about me. Just all about me!! x)))

Premium Blogger Themes - Starting From $10
#Post Title #Post Title #Post Title

Catatan sekilas (kadar cinta)

Wednesday, February 03, 2010
1.571 am
Tadina mo langsung tidur, entah..ketika w pejamkan mata ini, jadi keingetan bikin puisi yg ada sangkut pautnya ma kimia,,jadi inget Bu Ye’ qiqiqiqiqi9x x)
Guru yg paling w saluti atas kedisiplinan n perfeksionisnya, terimakasih Bu, saya belajar banyak dari Anda.

Jika kau ukur kadar cintaku secara titrimetri
Tak kan kau dapati titik akhirnya.
Begitu pula bila kau tetapkan cintaku secara spektrofotometri,
Tak jualah kau temukan lamda max.nya,
Karena cintaku adalah warna-warni,
Yang kan mewarnai harimu, tanpa batasan, tak terhingga.
Bila pun kau tetapkan kemurnian cintaku secara gravimetri
Untuk sampai bobot tetap saja, kau tak kan bisa
Karena cintaku tidak mengarang, tak pula mengabu.
Tetap utuh, seberapa pun tingginya suhu kau coba tuk membakarnya,
Tetap utuh, tak lekang dimakan oleh asam kuat sekalipun,
Pun tak kan pernah mengendap karena basa kuat.
Cintaku tak layaknya intan dan permata,
Karena memang cintaku lebih berharga dari itu semua...


Cibaduyut, Bandung
2.14am
[ Read More ]

Catatan sekilas (tahu diri)

Monday, February, 01, 2010
3.36am
Awal ferbuari ini, tanggal 1. Malas tidur. Menunggu pagi, jadi inget lagu na peter pan. Itulah yang ku lakukan sekarang, menanti mentari, barulah aku beranjak tidur. Awal februari ini, mengingatkanku akan dirinya. Beginilah kiranya;
Orang bilang ; laki-laki yang baik-baik akan mendapatkan perempuan yang baik-baik pula.
Engkau adalah laki-laki yang baik-baik, sedang aku?
Aku tahu diri,
Tak perlulah ku bertanya pada bintang “pantaskah ku mengharap cintamu”
Sudah pasti jawabnya tidak, pun bintang belum tentu sudi menjawab makhluk sepertiku,
Hina dan dina.
Aku tahu diri,
Mungkin bagimu aku hanya seonggok sampah yang berjalan
Kotor, bau, dan tiada guna!
Rongsokan!
Tapi jangan salah, aku tetap sedap di pandang oleh kucing-kucing liar,
Karena mereka mencari makan dan tinggal di tempatku.
Mereka membutuhkanku. Sedang aku membutuhkanmu. Namun kau tak membutuhkanku.
Kita layaknya rantai makanan yang tak pernah tersambung.
Tak seimbang, tak sesuai hukum piramida.

Aku tahu diri,
Aku tak mungkin mendapat cintamu
Seharusnya aku tahu diri
Bahwa aku pun tak semestinya berharap.
Tapi aku teringat akan buku yang pernah ku baca ; “hidup ini memang berat. Beberapa penyakit belum ada obatnya, terkadang beberapa masalah tidak ada jalan keluarnya. Tapi dari kenyataan seberat itu pun, selalu ada harapan’
Karena itulah aku tak pernah berhenti berharap,
Mungkin aku tak kan pernah bisa mendapatkan cintamu.
Tapi cintaku padamu bukan untuk memilikimu,
Cintaku padamu adalah kebahagiaanku
Dan tangisku untukmu adalah kenikmatan tersendiri

3.52am (Tahu Diri)
[ Read More ]

Catatan sekilas (terbawa perasaan)

Bukan kayak Angel's diary,
ni catatan emank ga sengaja dibuat, terlintas begitu saja,
makana w sebut "Catatan sekilas"
nggak kayak note2 w sebelumna, yang selalu bersambung 1- tak terhingga,
kini catatannya w kasih judul, biar lebih terngiang di benak para pembaca setya mui's note...heuheuheu9x x)

kita liat catatan sekilas pertama gue,

Monday, February 01, 2010
2.40am
Tepatnya sih semalam, gue nangis. Hah jangan tanya kenapa, karena alasannya memalukan “rindu setengah mati” begitulah kata d’massive, saat denger lagu itu pulalah gue nangis. Tapi apakah itu hal yang memalukan? Nangis karena “rindu setengah mati. Kata temen gue “mu, ieu mah terbawa perasaan. Di pendem lila, jadi bae numpuk! Dasar awewe, urang mah teu ngarti” ya kira-kira seperti itulah perkataanya. Intinya gara-gara perasaan yang dipendam lama, jadi tertumpuk dan akhirnya membludag jadi sebuah tangisan. Tngisan rindu mungkin ini bisa disebut seperti itu. Bagaimana tidak rindu ini tidak menumpuk? Sedang tiap hari, tiap saat aku rindu kepadanya, sedangkan tak ada cara jangankan untuk menyalurkan kepadanya, mencurahkannya pun tak bisa. Dia di antah berantah, layaknya jaman purba, komunikasi jarak jauh sungguh sulit. Mengapa? Bukan karena teknologi, tapi karena keinginan, mungkin sudah niatnya seperti itu. ya sudahlah, apa noleh buat. Tak boleh lah aku memaksakan kehendak. Tuhan saja Maha Berkehendak, tak sembarangan paksa-paksa orang, selalu Dia kasih pilihan-pilihan kepada kita, walau terkadang pilihan itu sulit, menjelimet. Tapi itulah cara kerjanya Tuhan, selalu senang dengan surprise. Aku tak tahu dimana rimbanya. Mungkin keadaan seperti ini pulalah yang jadi inspirasi ermy kulit buat nyanyi, Pasrah :
“Kemana lagi, dimana lagi harus ku cari tempat untuk bertanya. Burung pun tiada, angin pun tiada bawa berita. Kalau begini aku tak tahu bagaimanakah lagi. Biarlah semua akan ku pasrahkan, pada yang Illahi”
Aku tau, aku bukan siapa-siapa apalagi baginya. Tak berhak dan tak berkewajiban. Tapi adakah salah dengan rasa rindu ini? yang sering ku dengar adalah “cinta tak pernah salah” sampai detik ini, belum sekali pun aku dengar “ rindu tak pernah salah”. Jadi, boleh kah mulai saat ini kuota itu di syahkan?
Pikir dipikir, gue jadi kepikiran ama pernyataan temen gue tadi “terbawa perasaan”. Adakah yang salah dengan terbawa perasaan? Bukannya hidup ini tak hanya dijalani dengan akal saja?perasaan pun ikut andil. Bahkan kita menjalani hidup pun ‘terbawa perasaan’ . contoh; ketika perasaan kita sedang marah, ya bawaannya jutek, kesel; lagi jatuh cinta, berseri-seri ; lagi sedih, ya cemberut, menangis. Apa salahnya? Dan apa susahnya untuk dimengerti? Kalau boleh dibalikkin, “Dasar cowok!ngertiin aja ko susah!”. Kenapa cewek susah dimengerti dan cowok susah mengerti cewek? Tak semudah dengan jawaban “karena cowok pake 9 akal dan 1 perasaan, sedang cewek 9perasaan dan 1 akal”. Yang jadi masalah adalah, cewek selalu berusaha ngertiin cowok nya, oleh karena itu ga ada dalil “cowok susah dimengerti” lha sekarang balik tanya ke para cowok, sudah berusaha sebesar apakah Anda mencoba ngertiin cewek???
Tangisan rindu teruntukmu 1 februari
3.08am (Terbawa perasaan)
[ Read More ]

Bodoh!!! the end

Ku buka mataku, kulihat buram cahaya putih. Ah, inikah syurga? Sungguh ku tak menyangka, orang hina sepertiku dapat memasukinya, atau kah malaikat maut salah menempatkanku. Lalu kudengar gaduh seiring dengan kesadaranku yang meningkat. Ku lihat orang berbaju putih mendekatiku, menyinariku dengan sinar yang membuat mataku silau.
Lalu kembali suara gaduh. Masih belum jelas pendengaranku, tapi penglihatanku sedikit mulai fokus. Aku ada di rumah sakit. Hah rumah sakit? Aku bertanya pada diriku sendiri. Mimpikah ini? ataukah kejadian tadi yang ku alami itu yang mimpi? Bagai mana bisa aku disini?. Kurasakan nafasku tak sempurna, tabung oksigen rupanya disambungkan ke hidungk. Ku coba menegakkan tubuh, berharap bisa memandang kesekeliling, tapi tak bisa. Hanya bola mata ku gerakkan berputar, berharap luas jangkaun pandangannya, untuk mencari tahu apa yang aku sendiri tak tau apa yang kucari. Dan kulihat orang berbaju hijau mendekatiku, semakin mendekat, kemudian tampak jelas, bahwa itu kau. Aku tak bisa berekspresi, seakan sel-sel syaraf di otakku masih belum tersambung satu sama lain, bingung mencari jalannya masing-masing setelah kekacauan yang terjadi. Aku juga bingung.
Kau tersenyum padaku, aku pun ingin membalas senyum mu, tapi tak bisa. Beku yang kurasakan dalam hatiku. Entah harus bersikap apa kepadamu. Waktu itu, aku tersenyum bahagia melihat dirimu sebelum ku menutup mata. Sekarang setelah ku membuka mata dan yang ku lihat adalah kau, apakah aku harus kembali tersenyum?.

Tiga hari sudah aku tak berkutik di ranjang ini. Sampai akhirnya dokter mengizinkanku pulang. Orangtuaku menjemputku, begitu pula kau dan dia. Ku lihat dia memandangku sekilas, lalu menunduk, malukah?takutkah? aku tak tahu.
“Kamu tuh gimana sih?kok bisa masuk rumah sakit kayak gini?kok bisa luka bakar kayak gini?” Mamih, seperti layaknya ibu-ibu yang lain, langsung nerembel melihat anak gadis nya terluka. Heran, apa jadinya kalau beliau tahu luka di dalam sini? Akan nerembel seperti apa?
“Nggak apa-apa kok mih, ini gara-gara kompor meledug (alasan yang langsung terlintas begitu saja, mengingat lagu Alm.benyamin S. “kompor meledug”)”
“Kompor meledug? Gimana bisa? Memangnya kamu lagi ngapain? Kenapa nggak suruh si bibi aja?” Aku menatap ke papihku, isyarat “please bungkam mulut mamih”.
“Sudahlah Mih, kasihan kan, wong baru sembuh langsung di interogasi. Bo ya nunggu nyampe rumah dulu, begitu” Papih angkat bicara, Mamih pun diam. Aku tersenyum kea rah Papih, tanda terima kasih. Papih dan Mamih pergi duluan ke mobil. Sedang aku sejenak disini, ada yang ingin ku bicarakan kepadamu dan dia.

Dia terus menunduk dan menatapku sesekali, kemudian menunduk lagi, seperti bersungut. “Ehm..” Aku memulai pembicaraan.
“Ke taman yuk, biar enak ngobrolnya” ajak ku. Taman Rumah Sakit, tidak lah besar, tapi cukup indah untuk bersantai sejenak dari ‘sakit’. Kami bertiga, aku, kau dan dia duduk di salah satu kursi yang ada di pojok taman, menghadap air mancur.
“Sungguhpun aku minta maaf pada kalian berdua”
“Kau tak perlu minta maaf, seharusnya kami terutama istriku yang minta maaf kepadamu”
Kata-istriku- yang keluar dari mu, terasa ‘jleb’ pada jantungku. Tak boleh begini, aku harus terbiasa menganggapmu bukan siapa-siapa. Aku teguhkan dalam hati. Kau menyenggol istrimu, berisyarat. Dia pun memandang ke padamu, lalu ke arahku “Maaf” katanya singkat. “Aku rela jika kau mau menyeret dia ke penjara” Kau berkata rela, tapi istrimu yang mendengar itu, kaget bukan kepalang.
“Tak perlulah seperti itu, aku tak ingin melanjutkan rantai kebodohan balas dendam ini, tak kan berujung. Disini pun aku ikut bersalah serta. Aku minta maaf kepada kalian berdua, terutama kau, kakakku. Maaf kan aku yang tak bisa menahan hasrat ini, semoga kau mau memaafkan segalanya, bukan hanya salahku, tapi juga salah Bapakku, semoga kelak kita bisa membuka lembaran baru dengan penuh kasih, tulus. Aku mohon maaf kepadamu” Aku sungkem padanya, entah bagaimana ekspresinya, aku tak peduli. Yang pasti aku benar-benar tulus ingin memperbaiki semua salahanku. Tak ada sambutan apapun darinya. Mungkin hatinya terluka dalam dan terlalu komplikasi, aku mengerti. Aku pun berdiri dan menatapmu. “Disini saatnya, benar-benar kita mengakhiri cerita cinta kita. Ku harap kau bisa menganggapku sebagai adik dan mencinta kakakku, istrimu setulus hatimu, benar-benar karena dia adalah dia, kakakku.” Kau menatapku, seraya berkata tak bisa “Aku tahu akan sulit, tapi perlahan, pasti bisa. Aku ikhlas melepasmu, aku tulus, aku rela. Ku harap kau pun begitu”. Aku tersenyum padamu, lalu pada dia. Kemudian menggenggam tangan mu dan tangannya, dan menyatukan genggaman tangan kalian, seraya melepaskan genggamanku. Aku beranjak pergi meninggalkan kalian berdua, hanya berdua, bayangku pun ikut serta bersamaku.

Aku menangis dalam langkahku,
Terlalu banyak derita telah aku ciptakan.
Sakit ini tak sebanding dengan kebahagiaan yang kau berikan,
Pun dengan yang tersakiti karenanya
Jadi biarkanlah,,cukuplah aku
Aku saja yang menyimpan cinta ini, cinta kita
Biarkan aku sendiri yang mendekapnya erat,
Tak kan ku bagi lagi kepadamu, ataupun yang lainnya
Aku tulus, menyimpan kenangan ini begitu pun
Aku tulus merasakan sakitnya seperti halnya
Aku tulus, mencintaimu.
Cukuplah aku sendiri,
Yang melanjutkan kebodohan ini hingga akhir……

Maafkan ku harus meninggalkanmu,
Maafkan bila hatimu terluka
Tetapi hatiku hanya milikmu
karena kaulah yang terakhir untuk diriku
Ku akan slalu mencintaimu sampai aku tinggalkan dunia ini,
Ketulusanku tak akan berubah walau kita tak mungkin untuk bersatu
selamanya.


Cibaduyut, Bandung
01 Feb’ 2010, 2.16am

(Sengaja namatin tgl segini, hadiah ulang tahun buat Man N&F)
[ Read More ]

Bodoh!!! 'til the end 7

“Halo” suaramu diseberang.
“Aku rasa aku mengerti apa yang terjadi dan siapa…”
Tut—tut—tut
Telepon terputus, bukan karena di tutup olehnya, ataupun tak ada sinyal. Tapi karena kesengajaan dariku. Mobilku berhenti, melihat apa yang ada di depanku.
Porsche hitam, B 1715 IA terparkir di tengah jalan. Plat nomor yang tak asing bagiku. Kubunyikan klakson, lalu sang empunya keluar. “akhirnya kau menemukanku, walau…lambat!”
Aku pun keluar dari mobil. “Kau, memang terlalu lugu sepupuku, atau bodoh?” katanya sambil mendekat pada diriku. Tangan ku mengepal, emosiku mencapai buhul kepala. “saking lugunya, sampai aku tak mengira kau dapat ‘berpacaran’ dengan suamiku! Hah macam mana pula kau! Serigala berbulu domba! Bukankah kau wanita? Berperasaan sama seperti aku? Teganya kau, menggerogoti daging sendiri! AKU SEPUPUMU! Saudaramu! Tak adakah diluar sana yang dapat menggaet hatimu? Kau cantik, masih muda, pintar pula. Mana ada laki-laki yang menolakmu, semua menggilaimu, termasuk suamiku! Tapi mengapa kau memilih suamiku? Jelas-jelas SUAMI! Sudah ada yang punya! M-I-L-I-K-K-U!” Tatapannya tajam, mencemooh, namun tersirat kesedihan yang mendalam. Aku diam, dan hanya bisa diam, kepalan tangan tak lagi sekeras tadi, emosi lenyap bagai bara api tertutup salju. Pantaskah aku berbalik marah? Sepertinya deritanya lebih-lebih dari diriku. Aku bersalah. “Kau tak ayalnya Bapak mu!” tersentak aku bukan kepalang, seketika bara api kembali membara, melelehkan tumpukan salju yang menutupinya. “Mbak! Maksud mbak apa? Nggak usah bawa-bawa orang tua saya! Nggak perlu Mbak menjelek-jelekan Bapak saya, beliau tidak ada sangkutpautnya dengan semua ini!”
“Apa? Tidak ada sangkutpautnya katamu?! Kau memang benar-benar lugu, atau bodoh?” mengerenyit keningku, tak mengerti akan maksudnya.
“Menurut kamu, mengapa orangtua ku selalu ikut campur urusan kamu? Karena mereka, terutama ibuku sangat ingin mendengarmu kalah, menderita. Dari kecil ibuku selalu menekanku, agar lebih unggul darimu dalam berbagai bidang. Menyuruhku belajar lebih dari jam tidurku, les sana-sini, melarangku bermain, demi agar dapat unggul dari mu! Tapi kau selalu beruntung, tak pernah ku dapat menang darimu sekali pun, padahal kau selalu tak pernah serius, dalam apapun, kerjaan nya hanya main - main dan foya-foya. Tak terhitung berapa banyak aku di hukum oleh ibuku karena kalah darimu, saat raport ku lebih rendah darimu, atau ketika aku tak bisa masuk sekolah favorit sepertimu, atau ketika kamu yang dipilih sebagai perwakilan lomba sekolah, bukan aku!”
Aku semakin tak mengerti
“Aku bukanlah anak bagi ibu ku, melainkan mesin pembalas dendam!”
Aku mencona mencerna apa yang ia katakana, tapi tetap tak berujung pangkal.
“Kita dilahirkan sama tahun, hanya beda 3 bulan! Kita dilahirkan layaknya kembar siam! Wajah kita saja hampir mirip, hanya hidung dan dagu mu adalah milik ibu mu, sedang pendeknya badanku bawaan gen ibuku. Ya, kita memang kembar siam, kalau saja dilahirkan dari rahim yang sama. Apa namanya ini? Satu Bapak lain ibu???”
Bukan hanya detak jantungku yang tak ku rasakan, tapi seketika udara jadi begitu berat, tak bisa aku bernafas.
“Kamu memang bodoh. Kamu pikir mengapa kita bisa begitu mirip? Bapakmu meniduri ibuku sebelum meniduri ibumu. Dia pergi begitu saja meninggalkan ibuku yang sedang mengandungku selama 2 bulan dan menikahi ibumu, tak lain hanya karena materi. Beruntung ada yang mau menikahi ibu ketika perut sudah agak terlihat buncit, bapak ku ikhlas menerima ibuku dengan segala keadaanya. Tapi luka di hati itu tak semudah goresan di tepi pantai yang segera hilang terbawa ombak. Terus, terus dan terus, ibu menanamkan api balas dendamnya pada diriku. Tapi bagaimanapun aku berusaha, tak pernah aku bisa melampauimu. Tak pernah sekalipun aku menang darimu, begitu pun cinta. Aku mengikutinya dari belakang, ketika dia tiba-tiba panik melihat kau pergi di acara syukuran anak kami. Suamiku mengejarmu, dan aku membuntutinya. Ku ambil jalan memutar agar tak ada seorang pun di antara kalian menyadari kedatanganku. Hingga sampai di bukit ini, sakit yang ku dapat ketika aku tahu kebenaran yang terucap dari mulut suamiku sendiri. Kubakar bukit ini, ku abukan semua kenangan kalian, sengaja ku menampakkan diri pada kedua jompo itu, agar dia mengira kau yang melakukannya dan melaporkannya ke polisi. Tentu saja mereka tak kan menyadari kalau aku orang yang berbeda. Heran aku dibuatnya, mengapa mereka tak berkata jujur pada polisi. Malah berdalih sedang tidur siang, padahal jelas-jelas kita saling berpandangan. Cihh, kau suap berapa mereka agar bungkam?”
Plakkk…aku layangkan tanganku ke pipinya
“Aku tak pernah melakukan cara kotor untuk mencapai tujuanku. Mungkin itulah yang membedakkan ku darimu, hingga kamu tak pernah bisa menang dariku”
“ huh..Tapi kini, aku tak mau dan tak akan kalah lagi darimu lagi, kini aku yang akan memenangkan permainan ini. Cukup sudah, giliranku yang tampil”
Kemudian kurasakan bau kloroform menyengat memenuhi hidungku, lalu………….gelap.

Entah berapa lama aku tak sadarkan diri, pandanganku masih buram ketika melihat kesekelilingku. Masih tempat yang tadi. Kaki tanganku tak bisa bergerak, terikat pada sebatang pohon. Lalu ku lihat dia membuka bagasi mobil dan mengambil deregen, sepertinya memang sudah dia rencanakan matang-matang semua ini. Kini dia berdiri di hadapanku, “Kalau kau memohon kepadaku untuk memaafkan mu dan berjanji tidak akan muncul lagi di kehidupanku, maka aku akan melepaskanmu”
Aku menatapnya penuh kasihan. Plakkk, dia kembalikan tamparan yang tadi aku berikan, “Apa maksudmu menatapku seperti itu? Saat ini harusnya aku yang kasihan kepadamu! Nyawamu ada di tanganku”
“Nyawaku hanya berada di tangan-Nya dan aku hanya memohon kepadanya”
Api amarah tergambar jelas di matanya sejelas api yang akan diciptanya.
"Biar kau tahu panasnya api yang perlahan melahap wajah cantikmu!” kemudian dia membungkam mulutku dengan selotip, menebarkan bensin ke sekeliling pohon. Yang kulihat adalah tawanya, disusul si jago merah yang mulai mengelilingiku. Kemudian dia berlalu.
Sesak asapnya, menguras oksigen disekelilingku, menyumbat pernafasan, menyurutkan kesadaran. Merah apinya membangkitkan halusinasiku akan dirimu di malam tahun baru itu, merahnya seperti percikan kembang api diantara wajah senyum mu kala itu, indah. Dan kini serasa kulihat bayang dirimu diantara gelora api, aku pun tersenyum. Bahagia karena yang ku lihat terakhir kali adalah dirimu, walau hanya bayang-bayang. Aku pun menutup mata.
-____________________________________________________________________-
[ Read More ]

Bodoh!!! 'til the end 6

Tak pernah ku mengerti, mengapa kau sepertinya tak mengindahkan kejadian itu. Ataukah kau memang tak mau perduli?sudah tak perduli lagi pada kenangan kita yang telah meng-arang. Tentu saja, kini kau telah punya dia dan si buah hati. Apalah arti kenangan dengan kekasih gelap sepertiku?bagimu pun itu semua kini sampah!. Dan aku disini, adalah si pemulung sampah, mencoba mngumpulkan puing-puing yang tersisa, mengelukkannya seperti intan permata. Sekali lagi cinta, membuatku bodoh!!!.
Dalam gelap aku menggapai, setiap informasi ku kumpulkan, tapi tak berarti. Janji penegak hukum pun “Secepatnya akan kami ungkap kasus ini” layaknya angin lalu. Mungkin karena dikatakan di dalam TV, maka tak pernah jadi realita. Bukannya kebanyakan yang di dalam Tv itu bohong belaka? Sinetron, boongan. Entah dalam ceritanya bersumpahlah, menangis lah, bahkan mencinta pun, semuanya bohongan!

Pun aku tak bisa mengerti, semenjak aku mengantarkan dia berbelanja. Kini dia lebih sering membuatku “berkunjung” ke sumber dimana segala kesakitanku tercipta, rumahmu dan rumahnya, rumah tangga kalian. Mungkin bila dadaku di rontgen, sang dokter akan terpekik melihat hati ku yang gosong. Terbakar api cemburu.
“Besok datang lagi ya..” Tersentak aku mendengar kalimat itu keluar dari bibirmu yang hitam, bekas rokok. Dalam hati “nggak salah tuh?”. Sekali lagi dan untuk kesekian kalinya, seakan kau bisa melihat tembus apa yang ada di otak ku, tanpa ku bertanya kau menjawab
“Ia serius. Dengan kehadiranmu setiap hari disini, serasa aku hidup bersama denganmu”
“ “SERASA HIDUP DENGANKU??” Mungkin bagimu, ketika kau membelainya dan melihat ku berada di depanmu, yang kau RASA adalah sedang membelaiku. Tapi NYATA bagiku, kau membelainya, bukan aku. Dan yang kulihat adalah fakta, realita, bukan ‘perasaan’. Sungguh pun aku tak mengerti, bagaimana bisa kau menikmati tiap tetes darah yang mengucur dari luka yang kau torehkan di hatiku. Apakah cinta benar-benar sudah membuatmu BODOH?!!”
Meluap semua, tumpah ruah, segala asa dalam hati. Layaknya gunung merapi yang meletus, api merah, marah, bercampur debu hitam, duka. Dan kemudian rintik hujan, tangis.
Segera kubantingkan pintu mobil, berputar dan pergi dari rumahmu. Tanpa kusadari, kaca spionku memantulkan sesosok manusia agak jauh disana, sedang tersenyum.

Kembali lagi, ku lajukan ferrariku, hanya kusisakan 20km/jam saja. Dan kembali lagi, hatiku menggantikan tugas otak, menguasai alam bawah sadar untuk menggerakan tangan dan kaki ku melaju ke tempat itu, ya…tempat kenangan dulu yang tidak seperti dulu..bukit ilalang itu, tidak seperti rambut manusia, yang berubah dari hitam menjadi putih, tapi sebaliknya, dari putih menjadi hitam, arang, sebagian mengabu.
Sesampainya disana, kulihat gubuk tua tempat tinggal sepasang suami istri yang sudah tua, masih berdiri kokoh, walau sedikit reyot. Ah ngiri aku dibuatnya, andai bisa seperti mereka, tak perlu lah rumah mewah, cukup asal bersamamu, walau hidup tak makan cinta, biarlah cinta yang mencukupi segala rasa syukur. Tertarik hati aku mengunjungi mereka.
“Punteun (permisi)” sapaku.
“Mangga (silahkan)” terdengar suara serak dari dalam rumah. Suara yang menyeruakan keperihan hidup, tapi tidak dengan wajah keduanya, senyum bahagia, srasa ringanlah hidup mereka berdua.
“Eh neng, mangga kaleubeut (silahkan masuk)” pinta sang nenek
“Hatur nuhun mak, teu keudah ngarerepot, bade di luar bae, sabari ningali bulan ( Terima kasih nek, nggak usah ngrepotin, mau di luar aja sambil lihat bulan)” timpalku.
Dan kita, aku, sang nenek dan sang kakek, duduk di serambi depan rumah, menikmati indahnya cahaya bulan purnama, ditemani secangkir teh tubruk. Hangat dan tentram, sepertinya poseidon berbaik hati, mau menentramkan gejolak lautan di dalam dada.
Kami mengobrol ringan, kesana kemari, tentu saja dengan bahasa Sunda, walau sedikit banyak aku sudah lupa bahasa Sunda seperti apa, setidaknya karena itu kami bisa tertawa karena ke-kakuk-an bahasaku. Hahahah….. aku, orang bodoh yang menertawai kebodohannya sendiri. Sepakatlah kita, menggunakan bahasa Indonesia.
“Neng, kalau boleh nenek Tanya, tapi ini mah kalau boleh”
“Tanya apa nek?” tanyaku penuh selidik. Tergurat cemas, takut, penasaran di mimic muka nenek.
“sudahlah bu, nggak usah ikut campur” sang kakek, sepertinya tidak setuju dengan apa yang akan nenek tanyakan. Makin aku penasaran karenanya.
“Hok atuh, mau tanya apa?nggak usah sungkan gitu” kini aku yang memaksa.
“ini mah, bukan maksud nyingung atau ikut campur atau gimana ya neng, ini juga kalau neng mau jawab, tidak juga ya tidak apa-apa” nenek menambahkan.
“memang mau tanya apa?”
Diam sejenak, kemudian nenek mengeluarkan unek dalam hatinya
“Kalau boleh tahu, kalau boleh ini mah, kenapa neng membakar bukit ini?”
Hhaaaaaaaahhhhhhhhhhh……..tersentak aku dibuatnya, serasa untuk sepersekian detik, jantung ku tidak berdetak.
“Saya nak?” aku takut salah dengar.
Melihat ekspresi mukaku, sang nenek dan kakek berpandangan, bingung.
“lha bukannya memang neng ya?”
Aku serasa jadi terdakwa “Kenapa bisa kakek dan nenek berpikir seperti itu?”
“kami tidak berpikir seperti itu, tidak pula bermaksud menuduh, tapi itulah kenyataan yang kami lihat” kini kakek angkat bicara.
“bagaimana bisa saya meluluh-lantahkan tempat yang teramat berharga bagi saya?”
“Kami juga tak habis pikir, tempat itu layaknya pusaka bagi neng, bermula dari kenangan waktu neng kecil, hingga sebesar ini. Oleh karena itu nenek beranikan diri bertanya langsung kepada neng”
“Tunggu dulu, bukannya nenek dan kakek pernah berkata di TV kalau pas kejadian itu, kalian sedang tidur siang?ya kan?”
Kini mereka yang terdiam.
“Sebenarnya, kami berbohong” kata kakek.
“Apah? Bohong? Kenapa?”
“Karena kami mencoba melindungi neng, kami takut neng dipenjara”
“Tapi kek, saya tidak melakukannya” tampak keraguan di muka mereka.
“Sungguh!” tegasku “Sekarang gini aja, coba ceritakan cerita sesungguhnya kepada saya”
“Terakhir kali, kami melihat neng menuju puncak bukit itu, disusul oleh seorang laki-laki. Lalu kemudian kalian berdua sama-sama turun dan berpisah di samping rumah ini” tutur kakek.
“Iya betul, terus?” sergahku penasaran.
“Entah kapan neng balik lagi kesini, karena kami tak mendengar suara mobil sebelumnya. Atau mungkin kami tidak menyadarinya karena kami waktu itu berada di dapur. Tahu-tahu kami lihat neng sudah ada di atas bukit, menebarkan isi botol minuman, kemudian neng pergi, bebeapa menit setelah kepergiaan neng, api berkobar”
Akal ku tak bisa mencerna apa yang baru saja aku dengar. Cerita apa ini? bagaimana mungkin terjadi. Tapi tidak mungkin pula kedua orang ini berbohong. Untuk apa?. Cerita ini benarkah adanya? Mungkin secara tak sadar aku melakukannya, Hati yang menguasai seluruh jaringan tubuh, memang terkadang bertindak semaunya, tak memikirkan logika. Adakah aku berkepribadian ganda? Semakin lama aku pikirkan, makin banyak pula pertanyaan yang menggelayut.
“Kami pontang-panting, tak tahu harus berbuat apa, berteriak pun sia-sia. Sampai akhirnya, laki-laki itu, datang kembali, dia segera menghubungi pemadam kebakaran..”
“Tunggu dulu, maksud kakek ‘laki-laki itu’..laki-laki yang menyusul saya waktu itu?”
“Iya betul, dia datang beberapa menit setelah kebakaran terjadi. Setelah menghubungi pemadam kebakaran, dia langsung menanyakan pada kami apa penyebabnya. Sama seperti kami, dia pun tak menyangka neng melakukan hal itu, atas saran dia jua lah, kami tak menceritakan yang sesungguhnya kepada polisi.”
“Lalu kapan dia pergi?”
“Segera setelah mendengar cerita kami, dia langsung pergi”
Terhenyak aku, apakah ini sebabnya, kau tak penuhi panggilanku, marah. Tapi mengapa kau percaya begitu saja?tak mungkin, aku yakin kau pun tak kan percaya sama hal nya seperti aku. Seketika asumsi itu terkelibat, “Kakek, nenek, mengapa kalian yakin kalau akulah yang membakar bukit itu?”
“Maksud neng, kami salah lihat gitu?neng ragu dengan penglihatan kami? Walau kami sudah bau tanah begini, tapi mata kami masih awas” sang nenek sepertinya agak tersinggung dengan perkataanku tadi.
“Bukan, bukan maksud saya menyinggung kakek ataupun nenek, saya ingin tahu lebih detail”
“Memang kami melihatnya di kejauhan, tapi neng sempat mendekati rumah ini, lalu ketika kita berpandangan, neng segara pergi begitu saja ” Kakek menerangkan
“Ketika “saya” mendekati rumah ini, apakah api sudah berkobar?”
“Sepertinya begitu, karena pada awalnya, kami kira neng sedang membuat api ungun di atas sana”
“Adakah sesuatu yang agak beda, mungkin mobilnya, warna baju, atau apa?”
“waduh, kalau itu kami sudah lupa, mobilpun kami tak lihat, karena waktu itu kami berada di dapur, di belakang rumah, sedang biasanya mobil di parkir di samping rumah”
“Tunggu dulu, Pak! Sepertinya waktu itu kita tidak mendengar suara mobil?” Selah nenek.
“Ia Bu, mungkin waktu kedatangan kedua kalinya si neng ini, kita sedang ribut di dapur, jadi tidak terdengar”
“Bukan Pak! Maksud ibu, kita juga tidak mendengar suara mobil ketika si neng itu pulang”
“Oia, ya Bu, bapak baru ngeuh”
“Kek, selain jalan ini, menuju bukit bisa lewat mana lagi?”
“bisa lewat perkampungan sebelah, ntar munculnya di belakang bukit”
“Terima kasih kek, nek. Saya pamit dulu”

Adrenalin ku bergejolak. Inikah? Inikah jawab atas semua tanyaku? Kususuri jalan yang ditunjukkan sang kakek, mengitari bukit masuk ke hutan yang tak terlalu lebat dan cukup lapang untuk mobil lewat. Adakah ini yang selama aku cari? Ku ambil handphone, ingin rasanya ku tumpahruahkan segala apa yang ada dalam benakku, asumsi-asumsiku.
“Halo” suaramu diseberang.
[ Read More ]

Bodoh!!! 'til the end 5

Terbangun aku oleh nada “fall for you” nya Secondhand serenade yang melantun dari Hp ku. Nomornya tak kukenal.
“hallo”
“Baru bangun ya? Katanya kamu nggak jadi pulang ke Singapore? hari ini nggak ada acara kan? Anterin ke mall ya, aku tunggu jam satu ya di rumah. Daaaghhhh”
--Tut—telfon dari seberang sana ditutup.
“Siapa sih ni orang? Udah ganggu tidur orang, nyerocos mulu pula. Ah, tidur lagi” kembali ku tarik selimutku. Tapi tidurku kembali terganggu.
Tok—tok—tok—tok—
“Neng,,bangun, sarapan dulu”
“entar aja Bi, masih pagi”
“Ini udah jam sebelas”
Terperanjat seketika, “hah, jam sebelas?!!” Ku buka pintu kamar, Bibi sudah berdiri dengan nampan berisi sandwich dan segelas susu. “Makasih Bi” kataku sambil nyengir.

“Hoooooo… segarnya dah mandi, walau bukan mandi pagi , pun sore. Siang bolong gini, tetap menyegarkan. Ngeringin rambut sambil nongkrong depan TV ah” niatnya sih begitu, tapi beberapa menit kemudian.
Ting—tong—ting—tong
“Bi…”
Ting—tong—ting—tong
“Bibi....” yang ku panggil taj jua muncul, sudahlah…
Ting—tong—ting—tong
“Iya,,iya,,bentar” akhirnya aku beranjak dari kursi malasku.
Ting—tong—ting—tong
“Ihhh,,,siapa sih, nggak saba….” Kalimatku terputus ketika ku buka pintu
“siapa yang nggak sabaran huh?” orang yang di depan pintu, tepatnya perempuan, berkata seraya bertampang jutek. Salting aku dibuatnya, hanya bisa nyengir kepaksa itulah jawabanku. Kemudian senyum menyeringai di wajah yang jutek tadi. “Masa sepupumu ini tak kau beri masuk”
“Oh iya, sorry, lupa…ayo masuk” ku persilahkan dia masuk.
“kamu tuh gimana sih, tadi kan dah Mbak telephone jemput mbak di rumah jam satu. Ini di tungguin ampe jam 2 nggak nongol-nongol juga”
“Oh,,maaf lupa” aku berkilah menutupi kebingunganku.
oooo…sekarang aku tahu siapa orang yang tadi ganggu waktu tidurku.

Begitulah cewek, kalau sudah di mall, lari sana lari sini, apalagi kalau lihat diskon. Sepertinya mereka tak pernah lelah memburu belanjaan mereka, entah penting atau berguna, sepertinya kalau keluar dari mall tidak membawa belanjaan bertas-tas kayaknya kurang apdol. Entahlah..padahal aku cewek, tapi aku paling tidak suka ber-shopping ria. Memang tidak semua cewek seperti itu. Tapi apa jadinya kalau semua cewek seperti aku, yang tidak suka berbelanja, kasihan kan tukang dagang, bisa-bisa dagangannya tidak laku, makan apa dia dan keluarganya. –Terpekur—betapa Tuhan telah menciptakan dunia ini begitu sempurna. Segalanya saling berkekurangan dan berlebihan sehingga menciptakan suatu relasi saling mengisi dan terciptalah keselarasan. Adakah Kau juga menciptakan “isi” untuk hatiku yang kosong, Tuhan?
“Banyak banget mbak belanjanya?”
“Ia, ini kan untuk keperluan ekahan anak mbak entar”
“Emang kapan?”
“Bulan depan” sambil tersenyum riang, ia pun kembali asyik dengan daftar belanjaannya.
Terlibas iri dalam hati, menjadi istri sang terkasih, menjadi ibu buah hati yang tersayang.
“Kamu antar mbak pulang kan?” Hari sudah gelap dan kami baru keluar dari mall.
“Ia” jawabku patuh atas pertanyaan yang bukan pilihan, tapi penegasan.

Ah, bodohnya aku, mengapa aku mau mengantar ia berbelanja, ku antar pulang pula. Satu hal yang tak bisa terhindarkan karenanya, aku bertemu dengan kamu.
“Mah, kok lama banget sih?ini anak nangis mulu. Kan papah udah bilang…” Suaramu terdengar dari dalam rumah, lalu seperti tercekat tenggorokanmu , tak mampu berucap kala kau melihatku, mengantarkan kepulangan istrimu. Melihatmu, aku hanya tersenyum, maksa sebenarnya. Karena hati ini meringis mendengarmu berujar mamah tapi bukan untukku dan papah yang bukan milikku. – ku tegarkan hati—

Malam itu berakhir dengan makan malam di rumahmu, bersamamu dan bersamanya. Entah aku tak mengerti, lidahku yang kelu atau hati ini yang hambar. Makanan kurasa tak berasa. Apalagi ketika kulihat kau dan dia bagai pasangan suami-istri, ralat, bukan bagai tapi memang begitu adanya. Sewajarnya sang istri menyiapkan mengambilkan, terkadang menyuapi suaminya. Ya.. itu sudah sewajarnya, aku hanya merasa sedikit gerah, sepertinya makanan yang ku makan semuanya baru di angkat dari kompor, panas. -- aku cemburu—

“Aku pulang dulu ya Mbak” Kau dan dia mengantarkan kepergiaanku sampai gerbang rumah.
“hati-hati ya..sering-sering main kesini”
Senyum kecut tersungging di bibirku. Hah “sering-sering main kesini”, harus berapa banyak obat bius yang kusuntikkan pada hatiku, agar hati ini tak berasa ketika melihatnya bermesraan denganmu? Sepertinya kalau aku kembali kesini, aku cukup bawa diri, sedang hati, biar ku simpan dalam freezer. – aku ingin momod—


*__________________________________________________________________*
[ Read More ]

Bodoh!!! 'til the end 4

Tik…tok…tik….tok
Ku lihat jam tangan, 30 menit sudah aku menunggu, tak jua kau datang. Telfon dariku pun tak kau angkat.
Apa ini? Apa gerangan maksudmu? Seribu Tanya, sejuta duga menggelayut dalam benakku. Prasangka dan prasangka terus menghantui pikiranku.
Perbuatanmukah?
Kenapa?
Apa sebab?
Ga mungkin!!!
Tapi siapa? lagi yang tahu tempat itu selain kita berdua?
Orang lain?
Apakah tujuannya?
Adakah hubungannya dengan kita?
Ataukah memang ada motif lain?
Atau memang hanya kebetulan semata?
Aaarrrrgggghhhhh……harusnya tak usah ku risaukan, tak perlu ambil pusing, seharusnya aku meneruskan kepergianku. Bukannya memang itu tujuan kepergianku? Menghapuskan semua kenangan. Dan ketika alam benar-benar telah menghapusnya, bukannya itu bagus? Megapa aku bersusah hati seperti ini? –Ah—sekali lagi, cinta memang “membodohkan”, dan aku terlanjur cinta padamu, pada kenangan kita berdua. Walau semua itu, mungkin adalah sampah bagi orang lain.

Tik..tok..tik..tok….
Waktu terus berputar, satu jam sudah aku menunggumu. Tak jau kau datang.
Sesak…dan akhirnya aku pun pergi.
Rumah, kini menjadi tujuanku. Karena sumpah! Bila aku tak mendapatkan kejelasan atas semua kejadian ini, aku bisa hidup penasaran di Singapore.

~~__________________________________________________________________~~


Aku bukan Sherlock holmes, tapi malam itu kuberanikan diri menuju tempat itu. Berharap menemukan sesuatu, petunjuk atau apapun yang dapat memberikan secercah cahaya daam kegelapan ini. Sesampainya disana, yang kutekumakan hanyalah hitam, abu, hati meringis, melihatnya, tiada yang tersisa, semua lenyap ditelan api. Ah aku bukan Sherlock holmes, kemanapun aku mencari, setiap jengkal tanah, tak ku temukan sesuatu apapun, bukan tidak ada tapi tak bisa, sepertinya tanah ingin bercerita kepadaku, sepertinya burung ingin berbicara kepadaku, saksi bisu yang melihat rangkai cerita kebakaran ini. Tapi aku bukan Sherlock holmes ataupun detektif conan, yang bisa melihat hal kecil, berspekulasi dan menyimpulkan menuju fakta yang sesungguhnya. Aku pun bukan Nabi Sulaiman yang dapat berbicara dengan burung-burung, dengan hewan. Bagaimana ini? Aku memandang, menyapu sekitar tanah yang berarang, kemudian menengadah ke atas.
“Apakah ini kehendakMu? Sengajakah? Mungkin teguran bagiku, atau malah kemarahanmu, akan tindak ku yang melanggar norma, yang melanggar aturan-Mu? Cinta yang terlarang ini. Perasaan ini, salahkah? Lalu, kalau begitu mengapa Kau ciptakan hati ini?hati yang merasa cinta, mengapa? Salah siapa? Ini salah siapa?” dan aku menunduk, berlinang air mata “Maaf, aku telah berteriak kepada-Mu”….kuhembuskan nafas, terasa berat….”Mestinya aku, tak bertanya lagi.”

Ku rendamkan diri ke dalam bath tube, air masuk ke dalam pori-pori kulitku, menyegarkan, menetralisir polusi yang telah dihirup kulitku, menurunkan suhu kepalaku yang sedari tadi mendidih. Ku pejamkan mata, meresapi setiap kesegaran yang ada. Lalu pemandangan bukit yang terpanggang kembali nampak.
Kenanganku hancur. Bukit ilalang yang dulu berwarna putih, kini brganti hitam. Lebur tak bersisa. Hmm..andai rasa di hati ini bisa seperti itu, semudah itu hilang ditelan api. Tak bersisa, tak meninggalkan luka. Hilang, lenyap, tak perduli.
Kemudian bayang kala kita terakhir bertemu disana, muncul.
Ya…tempatnya telah tiada, tapi setiap moment nya, terkenang disini, di hati ini, di otak ini. begitu pula kau, kau tiada ku miliki, tapi cintamu selalu ada disini, dalam hati, dalam nebula. Erat, mengerak, hingga memfosil. “ah, kira-kira asam apa yang bisa melarutkannya?”
Jika aku membiarkan dirimu, menetap dihatiku, semakin lama semakin melekat, menyesakkan, tapi jika ku membuangmu, hatiku akan bolong, karena sebagiannya telah melekat dalam dirimu.

@__________________________________________________________________@
[ Read More ]

Bodoh!!! 'til the end 3

Byk yg ngusulin ne 'kebodohan' dilanjutkan.,jadi yo wezz demi memuaskan hasrat para pembaca ta lanjutkeun...
Mudah2 an ga jd boring ky sinetron2..heuheu9x
Keep reading...
Di antos kritik dan saran na yo...

-------@,@------

'mau kemana neng?'
'mo pergi ke Singapore'
'lha bukannya eneng paling ga suka kesana?bukannya neng betahan tinggal di Indonesia?'
Aku tetap membereskan koperku, tak menggubris.
'kenapa? neng yakin?'
'udahlah bi,ga usah bawel!aku mo pergi ya pergi!titik ga pake koma!ga perlu bibi tau kenapa dan mengapa!ga usah ikut campur!udah sana,suruh mang Darmo siapin mobil antar aku ke airport'
Nadaku tinggi, menyentak. Tak pernah aku berbicara itu kepada bibi, bibi yang sudah berumur entah berapa, yang ku tahu beliau sudah begitu lama mengabdi pada keluarga kami, dari dulu ketika rambutnya masih hitam indah terurai panjang, hingga kini bergelung putih semerawut. Walau beliau hanya pembantu di rumahku,tapi bagiku beliau sudah seperti nenek sendiri. Aku jadi menyesal telah berkata seperti tadi.
Koper sudah siap, aku pun siap meninggalkan rumah ini, kota ini, negara ini, kenangan ini --- mungkin.
'bi, maafkan aku tadi ya' pamit ku sebelum masuk mobil
'ia neng, tidak apa-apa'
Aku memeluknya, kemudian bulir air mata ku rasa membasahi pipi.
Tak ingin berlarut dengan kesedihan, segera ku usap air mataku, dan ku lepaskan pelukkanku.
'jaga rumah y bi. Hati-hati...kalau perlu panggil anak bibi aja buat temenin bibi'
'ia neng, makasih. Neng juga hati-hati ya. Jaga diri baik-baik'
Aku hanya mengangguk dan tersenyum. Lalu segera masuk ke dalam mobil.
'mang, cepat berangkat!'

Berkecamuk. Hanya itu kata yang pantas menggambarkan apa yang ada di hati ini. Kesedihan karena harus meninggalkan,melepaskan. Kebimbangan karena ketidakrelaan, belum 'legowo'. kemarahan karena harus kehilangan. Kebahagiaan??sesuatu yang perlu ditanyakan.


'tet..teett..tteeeeettt'
Suara klakson bergaung dari segala penjuru.
'damn it!'
lalu lintas yang dikutuk oleh kemacetan. Itulah jalan-jalan yang ada di kota-kota besar Indonesia. Membuat panas kepala bagi orang-orang yang mengalaminya, semakin panas dengan teriknya matahari yang tak bersahabat. Bagaimana mungkin alam ini mau bersahabat kepada kita, manusia yang serakah dan tak tahu terima kasih. Hanya bisa merajah dan merajah.
'muuiimmmuiimmmuuiimmmuuiii' suara sirine.
Ada apa pula ini?hatiku bertanya. Orang sekaratkah? Ataukah polisi yang mengiring pejabat? Hhm..enaknya jadi pejabat di negara ini, segala hal apapun dapat menjadi mulus. Tak satu pun terkaan ku menjawab pertanyaan hati. Karena yang ku lihat adalah penantang maut si jago merah melintas di seberang sana.
'ada kebakaran neng, sepertinya' celetuk mang Darmo, buyarkan lamunku.
'bukan sepertinya kale mang, emang bener-bener ada. Coba nyalain tv nya'
TV flat 7' muncul dari dasbor.
'Berita terkini' begitu lah suara yang terdengar ketika tv dinyalakan. Kemudian menyusul gambar merah kekuningan, 'terjadi kebakaran di daerah Bandung selatan. api telah melahap hampir sebagian padang ilalang ini, entah apa penyebabnya. Lokasi ini jauh dari warga desa, hanya ada satu rumah yang dihuni oleh sepasang suami-istri yang sudah lansia. Mereka pun tidak tahu apa penyebabnya. Api menjalar ketika mereka sedang tidur siang. Tidak ada korban dalam kebakaran ini. Polisi segera mengevakuasi lokasi. Apakah ini kecelakaan semata? Ataukah ada....'
Tut.
Kalimat pembawa berita terputus seiring ku matikan layar televisi.
'putar balik mang!'
Mang Darmo hanya memandang 'cengo' kepadaku alih-alih bertanya.
'putar balik ke rumah! Aku nggak jadi pergi' masih ada urusan yang harus diselesaikan, tambahku dalam hati.
Ku ambil handphone dari saku jeansku.
Ku tekan nomor 9...redial number ------> My All
'hallo' terdengar suaramu di sebrang sana,hati tergetar
'30menit lagi, aku tunggu kamu di tempat biasa'
Klik.
Ku tutup handphoneku.

It's not over yet
[ Read More ]

Bodoh!!! 'til the end 2

Tak ada satu pun dari kita yang melepaskan pelukkan. Keduanya tak ingin melepaskan dan dilepaskan. Tapi bagaimana ku harus berlaku?mungkin cinta tak pernah salah, hanya waktu dan tempat yang salah. Aku pun melepaskanmu, melepaskan pelukku. Ya, itu sudah menjadi keputusanku. Kau pun melepaskanku. Aku tak ingin membuatmu melihat air mataku. Aku tak ingin kau hidup di hantui gelisah akan sakitku, kesedihanku. Dengan tenaga yang tersisa, ku sunggingkan senyum dan ku acak-acak rambutmu.
'dag...hiduplah bahagia, kau sudah berjanji padaku!'
Segera aku menuju mobilku, masuk ke dalamnya,parkir, kemudian ku buka jendelaku setengah berteriak kepadamu yang masih berdiri 'ingat janjimu!hiduplah bahagia' aku melambaikan tanganku, kau hanya balas dengan senyum dan lambaian tangan. Ku tutup jendelaku, sebelum tancap gas ku berikan satu bunyi klakson untukmu
'hati-hati!kau juga hidup bahagia y..' teriakmu samar terhalang bunyi deru mesìn.
-biarlah aku menyimpan bayangmu
Dan biarkanlah semua menjadi kenangan
Yang terlukis di dalam hatiku,
Meskipun perih namun tetap slalu ada,,
Disini.....-


'cinta itu nggak buta, cinta cuma membodohkan'

Ku sisakan 20 Km/jam pada speedometerku,
Berharap ke'bodoh'an secepatnya pergi dari diriku
[ Read More ]

Bodoh!!! 'til the end

Aku menatapmu. Kau menatapku.
Seakan bisa membaca apa yang kupikirkan, -Ya, memang kau selalu bisa- kau mulai bercerita,
'ingat nggak?waktu kamu SMP kamu pernah bercerita kepadaku tentang sepupumu?' tanpa menunggu jawabanku, kau melanjutkan kisahmu 'kau pernah bilang, kau punya sepupu yang waktu itu ikut tinggal di rumahmu, karena dia melanjutkan kuliahnya di kota ini. Dia sangat perhatian kepadamu, menganggapmu bagai adik sendiri. Tapi kau tidak suka padanya, karena orang tua mu selalu membanding-bandingkan dirimu dengan dirinya, dan orang tuanya terlalu ikut campur dengan urusan mu. Dan kau semakin membencinya, ketika banyak orang bilang kalau kalian mirip. Ya, menurutku pun hampir mirip, sekilas, hanya saja dia tidak berdagu lancip dan berhidung pesek sepertimu' melihat ekspresi marah di wajahku, kau tertawa, mengacak-ngacak rambutku, dan kembali bercerita, sedang aku tetap cemberut 'aku tetap menunggumu, tiap sore hari, aku datangi bukit ini. Hingga usiaku genap 30, orangtuaku merongrongku untuk segera menikah. Sedang kabarmu pun tak jua tiba. Ketika itu aku melihatnya sekilas. Aku pikir itu kamu. Aku berlari mengejarnya, perasaan suka cita meluap-luap di dadaku. Ketika aku menyentuh pundaknya dan dia menoleh, baru ku sadari, tak mungkin kau tumbuh menjadi lebih pendek. Tapi sungguh untuk sepersekian detik. Dia memang mirip denganmu. Belakangan aku tahu, bahwa dia adalah sepupu yang dulu pernah kau ceritakan. Aku mendekatinya untuk mengetahui kabarmu.
Berada di sisinya, membuatku merasa ada kamu di sisi ku. Aku ingin tetap menunggu mu hingga kembali. Tapi usiaku beranjak semakin tua, dan orangtuaku segera ingin aku menikah. Akhirnya ku putuskan untuk menikah dengannya. Karena aku ingin, dalam darah anak ku kelak, akan ada darahmu ikut jua mengalir di dalamnya, walau mungkin hanya sedarah seketurunan. Dengan nya, aku bisa diam-diam mengawasimu dari jauh, selalu tahu bagaimana keadaanmu, karena seperti yang pernah kau bilang 'orangtuanya dan dirinya, terlalu ikut campur urusanmu' dan aku tak pernah berlama-lama menatapnya, hanya beberapa detik, karena dalam beberapa detik itu, yang ku lihat adalah dirimu, dengan begitu aku merasa hidup bersamamu'
'bodoh!!' baru kali ini aku berkata itu kepadamu, biasanya kamu yang selalu bilang padaku,bodoh!.
Kini ganti aku mengacak-ngacak rambutmu.
'tak bisa ku pungkiri, sedikit tersentuh aku mendengarnya. Yaa,, setidaknya dengan itu aku memaafkanmu karena tidak bilang padaku dari awal,kalau kau menikah dengan sepupuku. Tapi aku wanita, punya perasaan sama sepertinya. Bagaimana rasanya jika aku ada di posisinya, aku mengerti dan aku merasakannya, sakit! Sungguh, aku telah terlalu banyak menyakitinya dengan tetap berhubungan denganmu, dan aku tak ingin terus menyakitinya untuk selamanya. Cukup!cukup aku saja yang menahan kesakitan ini. Aku minta kau hidup bahagia dengannya. Mencintainya setulus dia mencintaimu. Mencintainya karena apa ada dirinya.Mencintainya karena telah bertaruh nyawa melahirkan anakmu. Ya..darah dagingmu. Anakmu dan anaknya. Bukan karena diriku, bukan karena ovumku. Jika kau benar-benar mencintaiku, sedalam laut, sebesar dunia. Cintailah dia sedalam samudra, seluas jagat raya. Berjanjilah padaku kau akan hidup bahagia! Aku yakin aku pun akan menemukan kebahagiaanku suatu saat kelak'

Kau terdiam. Aku pun diam..
'berjanjilah' pintaku seraya menggenggam kedua tanganmu.
Kau menatapku. 'berjanjilah?' dan kau pun mengangguk

'sepertinya, saatnya aku pergi...this is the last kisses from me'
Cup...kecupan terakhirku di pipi kananmu
Cup..kecupan terakhirku di pipi kirimu
Muach..kecupan terakhirku di keningku
Mmmmuuaacchh...kecupan terakhir di bibir manismu.
Kemudian aku beranjak pergi menuju mobilku, kau berlari mengejarku, memelukku dari belakang 'izinkan aku melakukan ritual perpisahan'
'baiklah...'
Setiap kita akan berpisah, entah hanya karena kau mau pergi ke kantor. Atau kau kembali pulang ke rumah. Atau hanya karena kau bepergian ke luar kota. Sebelum kita terpisah, selalu kau menatapku lama-lama, meraba wajahku, mengelus rambutku, kemudian memelukku, dan mencium keningku, kemudian berkata 'pergi dulu y' sambil menyunggingkan senyum dan mengacak-ngacak rambutku. Kini kau pun begitu. Menatapku lebih lama lagi, meraba wajahku dengan perlahan, mengelus rambutku dengan sangat lembut, dan memelukku lebih erat lagi, erat, dan erat, mengecup keningku,terus mengecupnya..dan aku hanya membalas pelukmu sambil memejamkan mataku,
merasakan kembali elektron-elektron kasih sayang yang kau keluarkan menembus pori kulitku, merasakan dua degup jantung, punyaku dan punyamu, berirama bersamamu..merasakan eratnya pelukmu, yang semakin menyesakkanku. Andai waktu berhenti sampai disini, dan tetap begini hingga aku mati dalam pelukmu, aku rela.
[ Read More ]